27

Jun

Ngabuburit Jurnalistik, Ngabuburit Asyik Ala Prodi Ilmu Komunikasi

SURABAYA. Ada beragam kegiatan khas yang dilakukan sembari menunggu berbuka di bulan Ramadan. Ada yang berburu takjil di pasar kaget atau di masjid; melakukan berbagi kegiatan sosial; melakukan tadarus; mengikuti pengajian atau bahkan hanya sekedar nongkrong di pusat-pusat keramaian. Kegiatan menunggu berbuka ini menjadi momen yang amat dinantikan bagi sebagian masyarakat terutama kalangan muda-mudi. Tradisi menunggu berbuka ini juga lebih popular dikenal dengan istilah ngabuburit.

Memanfaatkan momen ngabuburit tersebut, maka pada Jumat 17 Mei 2019, Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Untag Surabaya menyelenggarakan kegiatan ngabuburit yang tak biasa dengan menggusung tema, Ngabuburit Jurnalistik: “Print & Broadcast Journalism: The Future of the Basic”. Acara ini digelar di Ruang R. Soeparman Hardipranoto, Grha Wiyata Lt.9. Awalnya acara ini digagas karena keresahan para pengampu Prodi Ilmu komunikasi yang melihat banyak mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi kurang menaruh minat terhadap bidang jurnalistik. Banyak yang mengganggap bahwa jurnalistik merupakan suatu hal yang sukar untuk dilakukan.

Hal tersebut diduga karena mahasiswa kurang memahami dan menguasai kaidah-kaidah jurnalistik, prinsip-prinsip jurnalistik, nilai-nilai apa saja yang harus dimiliki oleh seorang jurnalis. Serta yang utama—mahasiswa belum memiliki gambaran langsung terhadap bidang jurnalistik dari praktisi jurnalistik. Hal yang terakhir diakui merupakan kelemahan proses belajar mengajar bidang jurnalistik di ruang kelas, mengingat tidak semua pengampu memiliki latar belakang bidang jurnalistik. Demikian acara ini diharapkan mampu mengisi kekurangan tersebut dan dapat memberikan wawasan kepada mahasiswa terkait bidang jurnalistik lansung oleh praktisi yang bergelut di industri media Indonesia.

Kemudian yang menjadi istimewa dalam acara ngabuburit jurnalistik ini adalah diadaptasinya cara “potluck party”. Yakni masing-masing peserta membawa makanan yang kemudian dikumpulkan untuk dinikmati bersama ketika waktu berbuka tiba. Dengan cara ini peserta bisa menikmati hindangan berbuka dari makanan yang sebelumnya dikumpulkan oleh teman mereka bawa. Sehingga melalui cara “potluck party” diharapkan nilai kebersamaan dan silaturahmi antar mahasiswa komunikasi dapat terjalin semakin erat.

Adapun tiga narasumber yang berkompeten dalam bidang jurnalistik dihadirkan untuk menjadi pemateri dalam acara ini. Narasumber pertama, Heti Palestina Yunani, penulis sekaligus mantan jurnalis Radar Surabaya. Kemudian narasumber kedua, Maulana Arif, mantan jurnalis BBC Radio Indonesia sekaligus mantan Ketua Komisi Penyiaran Informasi Daerah (KPID) Jatim. Dan terakhir Adreas Wicaksono jurnalis CNN Jatim. Masing-masing secara berurut menyampaikan materi berkenaan dengan jurnalis cetak, jurnalisme radio dan jurnalisme TV.

Acara ini dibuka oleh Dekan FISIP, Dr. Endro Tjahjono, MM. Ia amat mengapresiasi atas terselenggaranya acara ngabuburit jurnalistik ini. Lebih lanjut ia berpesan kepada mahasiswa untuk lebih aktif lagi mengikuti kegiatan di luar perkuliahan. Karena dengan mengikuti kegiatan semacam ini mahasiswa akan memiliki wawasan yang menyeluruh, yakni menguasai secara teoritik sekaligus praktik.

Heti, narasumber pertama mengulas banyak tips yang ditujukan bagi jurnalis pemula. Ia menekankan tiga hal penting yang harus dimiliki oleh seorang jurnalis, yakni: pengetahuan (knowledge), keahlian (skill) dan sikap/perilaku (attitude). Menurutnya seorang jurnalis dituntut untuk memiliki pengetahuan luas. Bukan hanya mempelajari perihal teknik penulisan berita dan hal-hal terkait bidang jurnalistik semata. Tetapi jurnalis harus sebanyak mungkin memahami permasalahan baik di bidang, sosial, politik, ekonomi, kesehatan, hukum, agama dan banyak bidang lainnya. Karena dengan wawasan yang luas, seorang jurnalis mampu mendudukan sebuah perkara yang sedang terjadi berdasarkan bekal pengetahuan yang dimiliki.

Narasumber kedua Maulana Arif mengulik banyak hal terkait jurnalisme radio--mulai dari sejarah perkembangan jurnalisme radio di Indonesia; menguraikan kekuatan dan kelemahan jurnalisme radio. Juga menekankan bahwa “Story telling” merupakan inti dari jurnalisme radio. Adapun yang dimaksud dengan story telling adalah bagaimana sebuah informasi dapat disampaikan dengan amat menarik untuk mempegaruhi perasaan audiens. Di akhir penuturannya Maulana Arif menyayangkan bahwa jurnalisme radio di Indonesia saat ini dinilai kurang begitu berkembang dibandingkan dengan jurnalisme cetak ataupun jurnalisme televisi. Jurnalisme radio dianggap sebagai jurnalisme yang “kurang serius”.

Materi terakhir mengenai jurnalisme televisi disampaikan oleh Andreas. Ia banyak membahas mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi jurnalis televisi untuk dapat membuat produk berita yang berkualitas. Ditengah kepemilikan media di tangan seglintir pemodal, menurutnya amat sulit untuk jurnalis dapat menghasilkan karya-karya yang berkualitas. Namun meski dalam kondisi seperti itu tidak dipungkiri masih ada beberapa jurnalis yang mampu membuat program televisi yang dinilai berkualitas. (hk/bp)