Jl. Semolowaru no. 45 Surabaya
Jl. Semolowaru no. 45 Surabaya
Okt
Di era ketika hampir semua orang sibuk dengan layar ponsel, seni tradisional pun dituntut untuk ikut beradaptasi. Begitulah yang dialami Sanggar Tari Mugi Lestari, sebuah kelompok seni tari tradisional di Surabaya. Demi menjaga agar budaya tari tidak hanya hidup di panggung tetapi juga di hati generasi muda, mereka kini memanfaatkan media sosial sebagai panggung baru.
Dari Panggung ke Layar Ponsel.
Selama ini, tari tradisional sering kali hanya tampil di acara-acara tertentu. Akibatnya, jangkauannya terbatas dan kurang dikenal anak muda yang lebih sering berselancar di TikTok, Instagram, atau YouTube. Mugi Lestari menyadari hal ini dan bertekad untuk hadir di ruang digital. Namun, ada kendala besar: mereka belum punya akun aktif, tidak ada peralatan, bahkan tak terbiasa membuat konten digital. “Awalnya kami benar-benar buta soal media sosial, kamera, sampai strategi promosi,” kata salah satu anggota sanggar.
Belajar Jadi Kreator Konten.
Program pendampingan ini dilaksanakan oleh Mohammad Insan Romadhan dan Hajidah Fildzahun Nadhilah Kusnadi selaku dosen pelaksana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Mereka dibantu oleh mahasiswa pelaksana, yakni Aisyah Indha Suwandha dan Cherry Ervina Marcely, yang ikut mendampingi proses pelatihan dan simulasi.
Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Hibah Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) DPPM UNTAG Surabaya Tahun Anggaran 2025, yang difokuskan pada penguatan kapasitas masyarakat dan pelestarian budaya melalui pendekatan digital. Dana hibah tahun anggaran 2025 memungkinkan program ini berjalan secara berkelanjutan dengan tahapan pelatihan intensif, mulai dari dasar-dasar penggunaan kamera, pencahayaan, pembuatan caption, strategi hashtag, hingga manajemen media sosial. Semua dipraktikkan langsung, termasuk simulasi live streaming layaknya konser mini.
Hasil yang Mengejutkan
Dalam waktu dua bulan saja, sanggar berhasil memproduksi sepuluh konten tari yang diunggah di Instagram dan TikTok. Hasilnya cukup mengejutkan: jumlah penonton terus meningkat, interaksi lewat likes, komentar, dan share juga semakin ramai. “Kami kaget ternyata banyak anak muda yang penasaran dan tertarik,” ujar pengurus sanggar. Kini, Mugi Lestari tak lagi bergantung pada event pemerintah untuk tampil. Mereka bisa mengatur sendiri jadwal tayangan, membuat promosi digital, bahkan mulai melirik peluang monetisasi konten.
Menjaga Budaya, Membuka Peluang.
Apa yang dilakukan Mugi Lestari menunjukkan bahwa pelestarian budaya tidak harus kaku. Dengan sentuhan teknologi, seni tari bisa lebih dekat dengan anak muda dan bahkan membuka peluang ekonomi kreatif. Lebih dari itu, langkah ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 4 tentang pendidikan budaya yang inklusif dan SDG 8 tentang peluang kerja kreatif yang berkelanjutan.
Pentingnya Eksistensi Akademika FISIP dalam Pengabdian
Wakil Dekan FISIP UNTAG Surabaya, Mohammad Insan Romadhan, S.I.Kom., M.Med.Kom., menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bukti nyata eksistensi sivitas akademika FISIP dalam menjalankan peran sosialnya di tengah masyarakat.
“Program Pengabdian kepada Masyarakat seperti ini adalah wujud nyata dari semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bagi kami di FISIP, kegiatan seperti pendampingan digitalisasi Sanggar Tari Mugi Lestari hanya tentang pengabdian, tetapi juga tentang menjaga eksistensi nilai-nilai budaya bangsa. Mahasiswa dan dosen terlibat langsung, berinteraksi dengan masyarakat, sekaligus mempraktikkan ilmu yang relevan dengan kebutuhan zaman,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pelaksanaan program PKM tahun anggaran 2025 menjadi momentum penting bagi FISIP untuk memperluas peran akademik di ranah sosial, budaya, dan digital, sehinggakampus benar-benar hadir dan berdampak bagi masyarakat.