24

Feb

Melihat Lewat Kacamata Jurnalistik dalam Film Shattered Glass

Shattered Glass, sebuah film biografi yang mengungkap satu fakta besar berdasarkan kisah nyata kasus jurnalisme yang pernah terjadi di majalah The New Republic, Amerika Serikat. Film Shattered Glass dikemas dengan alur yang asyik dan menyenangkan. Sebuah film biografi yang tidak monoton menceritakan, tapi juga mengajak penonton berpikir mengenai 'apa yang sebenarnya terjadi'. Mengungkap pesan 'epic' dibalik apa yang terjadi dalam sebuah media.

"Kau harus tahu untuk siapa kau menulis. Dan kau harus tahu apa kelebihanmu. Aku mencatat hal-hal yang orang lakukan. Aku mencari tahu apa yang menggerakkan mereka, yang menakuti mereka, dan aku menuliskan itu. Dengan begitu, merekalah yang bercerita. Dan kau tau? Tulisan semacam itu bisa memenangkan Pulitzer juga," (Shattered Glass, 2003). Satu kutipan ironi dari film Shattered Glass ini rasanya mampu menjadi poin highlight yang paling utama. Kutipan yang diulang dua kali untuk mengawali dan mengakhiri. Rasanya seperti kata-kata itu menyampaikan satu ironi yang begitu besar mengenai pergerakan dibalik jurnalisme dan media.

Mula-mula jurnalis mencari target pasar, menyesuaikan diri, dan mencatat. Jurnalis meneliti target pasar dan menyajikan produk sesuai dengan permintaan pasar. Sebuah media yang bergerak dengan jurnalis didalamnya, membuat berita dan menyajikan sebuah produk untuk dikonsumsi masyarakat, bukan lagi berdasarkan prinsip kode etik jurnalistik. Bukan lagi berdasarkan kejujuran dan fakta. Media mengalami komodifikasi dan sekaligus menguatkan napas kapitalisme dalam pergerakan kehidupan sosial masyarakat. "Jurnalisme hanyalah seni dalam memahami tingkah laku," (Shattered Glass, 2003).

            Melalui film Shattered Glass, kita buka bersama sebuah kacamata dalam dunia jurnalistik. Meski begitu perlu kita pahami bersama, sebuah kebobrokan dalam industri nyatanya tidak dapat dipukul rata terhadap semua pelaku didalamnya. Hanya melalui film Shattered Glass ini, sebagai seorang jurnalis ataupun konsumen, baiknya kita selalu mengutamakan kode etik yang berlaku dan mampu menjadi sebaik-baik pemeran yang terlibat di dalamnya.

(Dziyaaul Hubbi Arsyad)