18

Nov

Jerat Psikologis di Kampus: Mengurai Tekanan Stres, Kecemasan, dan Depresi pada Mahasiswa

Kehidupan mahasiswa sering digambarkan sebagai masa keemasan penuh kebebasan, eksplorasi, dan pengembangan diri. Namun, di balik citra ideal ini, terdapat realitas yang kian mengkhawatirkan: tekanan psikologis yang mendera banyak pelajar perguruan tinggi. Fenomena stres, kecemasan (ansietas), dan depresi kini menjadi isu krusial yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, dari individu mahasiswa, institusi kampus, hingga keluarga.

Stres, kecemasan, dan depresi bukanlah sekadar rasa "lelah" atau "sedih" biasa. Ketiganya adalah rangkaian kondisi psikologis yang dapat saling terkait dan jika diabaikan dapat mengancam kesejahteraan mental, bahkan masa depan akademik mahasiswa.

Dunia perkuliahan penuh dengan pemicu stres yang beragam. Stres akademik adalah sumber utama. Beban tugas yang menumpuk, tuntutan IPK tinggi, ujian yang ketat, persaingan, hingga ketidakmampuan untuk memenuhi standar yang ditetapkan baik oleh diri sendiri maupun lingkungan menjadi makanan sehari-hari yang memicu tekanan (Singh, 2014; Mestizo & Putri, 2023).

Selain itu, mahasiswa juga menghadapi tantangan adaptasi sosial dan mandiri. Transisi dari lingkungan sekolah ke kampus seringkali menuntut kemandirian finansial, pengambilan keputusan, dan penyesuaian diri pada lingkungan baru yang minim pengawasan. Tekanan ini, jika berkepanjangan dan tidak dikelola dengan baik, dapat memicu kecemasan berlebihan (ansietas), seperti ketakutan akan kegagalan atau kekhawatiran yang tak henti (Atkinson, 1990 dalam Nasir & Abdul, 2011).

Lebih jauh, kecemasan dan stres kronis dapat berujung pada kondisi yang lebih serius, yakni depresi. Gejala depresi pada mahasiswa dapat berupa hilangnya motivasi, perasaan putus asa, kesulitan berkonsentrasi, gangguan tidur, hingga penarikan diri dari lingkungan sosial. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stres akademik dengan kecenderungan depresi pada mahasiswa (Azizah, 2023).

Dampak dari tekanan psikologis ini bersifat masif dan tidak hanya terbatas pada masalah emosional. Secara akademik, stres dan kecemasan dapat menurunkan fokus dan daya ingat, menghambat kemampuan belajar, dan pada akhirnya menurunkan prestasi akademik (Emamanuei, Adom & Solomon, 2014 dalam jurnal UNS).

Di luar aspek akademik, tekanan ini merusak kualitas hidup secara keseluruhan. Secara psikologis, mahasiswa rentan mengalami frustrasi, mudah marah, dan merasa tidak berdaya. Secara fisik, stres dapat bermanifestasi dalam bentuk kelelahan kronis, sakit kepala, hingga gangguan pencernaan (Bressert, 2016 dalam jurnal Mercubuana-Yogya). Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi mengganggu kesejahteraan psikologis secara keseluruhan, yang ditandai dengan penurunan kebahagiaan dan kepuasan hidup (Kudus et al., 2022 dalam jurnal PSEB).

Penting untuk disadari bahwa kesehatan mental adalah elemen penting yang harus dipelihara, sama pentingnya dengan kesehatan fisik (Fadhilah et al., 2024). Ada beberapa langkah yang harus dilakukan:

  1. Peran Individu: Mahasiswa perlu mengembangkan mekanisme koping yang sehat. Hal ini meliputi manajemen waktu yang efektif, menjaga pola hidup sehat (tidur cukup, gizi seimbang, olahraga teratur), serta berlatih teknik relaksasi seperti meditasi atau pernapasan dalam (Direktorat Kemahasiswaan UPI; Halodoc). Mereka juga harus belajar menetapkan target yang realistis dan tidak membebani diri sendiri[1] .
  2. Peran Kampus: Institusi pendidikan memiliki tanggung jawab besar. Kampus harus memperkuat layanan konseling dan psikologis yang mudah diakses dan bebas stigma. Selain itu, perlu adanya pelatihan bagi dosen dan staf untuk mengenali tanda-tanda awal gangguan mental pada mahasiswa.
  3. Dukungan Sosial: Menciptakan lingkungan suportif sangat krusial. Mahasiswa dianjurkan untuk membangun support system yang kuat dengan teman, keluarga, atau organisasi kampus. Jangan ragu mencari bantuan profesional jika perasaan tertekan atau cemas sudah mengganggu fungsi sehari-hari.

Kesimpulannya, stres, kecemasan, dan depresi adalah tantangan psikologis yang nyata dan meluas di kalangan mahasiswa. Mengabaikannya sama dengan membiarkan generasi penerus bangsa terperangkap dalam jerat mental yang menghambat potensi. Diperlukan sinergi antara kesadaran diri mahasiswa, dukungan lingkungan sosial, dan inisiatif proaktif dari kampus untuk memastikan bahwa masa studi benar-benar menjadi masa pengembangan diri, bukan masa penderitaan mental. -Naufal Resa A

sumber yang digunakan:

https://journal.ugm.ac.id/jkkk/article/view/84827

https://ejournal.ukrida.ac.id/index.php/Meditek/article/view/2381

https://www.mdpi.com/2227-9032/13/16/1948


Ini terlalu chat GPT