Jl. Semolowaru no. 45 Surabaya
Jl. Semolowaru no. 45 Surabaya
Des
Menulis bukan
sekadar menuangkan kata, melainkan upaya menyampaikan gagasan yang bermakna.
Dalam kegiatan literasi yang diikuti mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17
Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya, Bu Wina Bojonegoro menjelaskan bahwa menjadi
penulis memerlukan perpaduan antara ketekunan, strategi, dan keberanian. Ia
menegaskan, “Tulisan baik adalah tulisan yang selesai,” sebagai pengingat bahwa
produktivitas lahir dari proses, bukan sekadar niat.
Dalam pemaparannya,
Bu Wina memulai dengan membahas teknik mengembangkan gagasan. Menurutnya, ide
adalah fondasi dari semua karya tulis. Ia mengenalkan empat metode utama, yaitu
mind mapping, free writing, brainstorming kelompok, dan riset awal. Keempatnya
menjadi cara efektif untuk melahirkan ide segar sekaligus memperluas wawasan
penulis. Dengan memvisualisasikan pikiran melalui peta konsep dan menulis bebas
tanpa sensor, penulis dapat menemukan tema yang lebih mendalam sebelum masuk ke
tahap penulisan.
Lebih lanjut, ia
menguraikan proses kreatif menulis dalam empat tahapan: pra-penulisan,
penulisan draft pertama, revisi, dan penyuntingan akhir. Pada tahap
pra-penulisan, penulis perlu melakukan riset dan menyusun kerangka logis. Saat
menulis draft pertama, fokus utama bukan pada kesempurnaan, melainkan
kelancaran ide. Tahap revisi kemudian menjadi ruang untuk memperbaiki struktur
dan logika, sementara penyuntingan akhir berfungsi memastikan konsistensi
bahasa dan ejaan. Untuk menjaga ritme produktivitas, Bu Wina juga menyarankan
agar penulis membuat jadwal menulis, menentukan target mingguan, dan bergabung
dengan komunitas literasi.
Tidak berhenti di
situ, ia menyoroti pentingnya menentukan jalur karier menulis. Dunia
kepenulisan terbuka lebar bagi siapa pun yang siap berproses. Beberapa jalur
yang ia sebutkan antara lain penulis fiksi, penulis nonfiksi, jurnalis,
copywriter, penulis konten digital, dan penulis akademik. Setiap profesi
menulis memiliki gaya, struktur, dan tujuan berbeda, mulai dari novel dan
cerpen hingga artikel SEO dan karya ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
menulis dapat diadaptasi untuk berbagai bidang, termasuk komunikasi, pemasaran,
dan pendidikan.
Dalam sesi
berikutnya, Bu Wina memperkenalkan dunia penerbitan. Ia membedakan tiga jalur
utama, yaitu penerbit mayor, penerbit indie, dan self-publishing. Penerbit
mayor memiliki proses seleksi ketat namun jangkauan distribusi yang luas,
sedangkan penerbit indie lebih fleksibel dengan sistem bagi hasil yang
disesuaikan. Adapun self-publishing memberikan kendali penuh kepada penulis,
mulai dari pengeditan hingga promosi. “Setiap pilihan punya tantangan, tapi
yang terpenting adalah keberanian untuk mulai mengirimkan karya,” ujarnya.
Tahap akhir yang
tak kalah penting adalah mempromosikan karya dan membangun personal branding.
Bu Wina menekankan bahwa media sosial kini menjadi ruang strategis bagi penulis
untuk memperkenalkan diri. Melalui platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube,
penulis bisa berinteraksi langsung dengan pembaca, membangun citra autentik,
serta memperluas jangkauan audiens. Selain itu, kegiatan seperti book
launching, bedah buku, dan kolaborasi komunitas literasi turut berperan dalam
meningkatkan visibilitas karya.
Materi yang
disampaikan Bu Wina menjadi panduan komprehensif bagi mahasiswa komunikasi yang
ingin menapaki dunia kepenulisan secara profesional. Dengan memahami teknik,
proses, dan strategi publikasi, mahasiswa dapat menyalurkan ide menjadi karya
nyata yang berdampak. Seperti yang disampaikan Bu Wina, menulis adalah
perjalanan panjang yang dimulai dari satu langkah sederhana dengan keberanian
untuk menyelesaikan tulisan pertama. (Moch Dzikry Nur Alam)